Rabu, 07 September 2011

Islam Menyembuhkanku dan Mengembalikan Jiwaku

kisahmuallaf.com - Christopher Patrick Nelson, warga negara AS keturunan Irlandia, masuk Islam ketika ia berusia 26 tahun. Sebelumnya, lelaki yang menganut agama Kristen ini pernah mempelajari berbagai keyakinan mulai dari Jainisme, ajaran Budha, Hindu, untuk menyembuhkan "penyakit"nya.

Sampai akhirnya ia menemukan Islam dan memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Ia mengakui Nabi Muhammad Saw sebagai model dari sebuah kehidupan spiritual yang komprehensif, dan Islam telah menyelamatkannya dari "penyakit kejiwaan" yang dideritanya serta membuatnya merasa menemukan jiwanya yang hilang.

Sejak kecil Christopher Patrick Nelson, sudah memiliki perilaku dan emosi yang labil. Pada usia 14 tahun, ia pernah dirawat di bangsal untuk pasien yang mengalami gangguan kejiwaan, karena tingkah lakunya yang tak terkontrol. Hingga usia dewasa, Nelson kerap mengalami depresi, tidak punya gairah melakukan apapun, inginnya tidur terus, dan yang terburuk merasa ingin mati saja. Beberapa kali Nelson melakukan percobaan bunuh diri, dengan mengiris pergelangan tangganya.

Pertama, ia didiagnosis menderita "paranoid-schizophrenia", sebuah istilah dalam bidang psikiatrik ketika para ahli tidak bisa menentukan dengan pasti problem yang diderita pasiennya. Kemudian, ia dinyatakan memiliki perangai "Bipolar", perangai ganda yang ekstrim, yang saling bertolak belakang. Sejak itu, Nelson berjuang menjalani kehidupannya yang kadang mengalami perubahan suasana hati yang ekstrim.

Orang-orang di lingkungan Nelson seringkali menyalahkan dirinya atas perilakunya yang tidak dewasa, karena tidak mengerti problem kejiwaan yang dialaminya. Kondisi ini menyulitkan Nelson dalam mendapatkan pekerjaan dan membina hubungan dengan sesamanya. Ia pernah bekerja kurang dari seminggu di sebuah restoran pizza. Nelson dipecat karena perilakunya yang kurang sopan pada pelanggan.

"Depresi itu seperti neraka. Rasa ini menyelinap dalam diri saya secara diam-diam seperti hantu. Saya ingat, saya menatap ke sebuah benda, misalnya sebuah meja tempat menyajikan kopi, tiba-tiba saya akan merasa kebingunan dan merasa hidup ini tak berarti," tukas Nelson.

Untuk menyembuhkan diri, Nelson mengikuti pengobatan yang disebutnya pengobatan gaya barat, seperti meditasi dan terapi bagi para penderita gangguan psikiatrik, di sebuah klinik di San Jose. Tapi ia merasa, pengobatan macam itu hanya menolongnya sesaat, tidak menyembuhkannya.

Sampai akhirnya, ia menemukan Islam bagi "penyakit"nya , tepat di depan sebuah tempat perawatan gangguan kejiwaan. "Saya selalu merasa, di lubuk hati saya, bahwa penyakit saya berhubungan dengan sesuatu dalam jiwa saya--obat-obatan dan terapi--oleh sebab itu, tidak akan pernah bisa menyembuhkannya," kata Nelson.

Dengan memeluk Islam, ia mempelajari ajaran Islam yang menurutnya mengajarkannya untuk membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati. "Islam memberi saya rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri," ujarnya.

"Saya merasakan, membaca doa tertentu pada Allah sangat membantu, untuk melindungi diri saya dari gangguan setan yang bisa menjerumuskan saya. Sikap disiplin dan berdoa membantu saya untuk mengendalikan emosi dan saya yang labil ..."

"Ketika rasa gelisah dan depresi itu menerpa, saya merasa dikelilingi oleh puluhan polisi, yang melempari saya dan mencaci maki saya. Saya pun berdoa, mendengarkan dan meyakini kata-kata yang saya ucapkan dalam doa saya. Seketika jiwa saya kembali tenang dan merasakan kedamaian," sambung Nelson.

Ia mengakui, untuk ketenangan jiwa, tidak cukup hanya doa tapi juga dipengaruhi oleh apa yang ia makan dan dengan siapa seseorang berkumpul. Menurut Nelson, berkumpul dengan sesama saudara seiman di masjid, banyak membantunya untuk menenangkan jiwa.

"Mengalami gangguan kejiwaan adalah sebuah perjuangan seumur hidup. Tapi setelah masuk Islam, saya merasakan akhirnya bisa mengendalikan diri saya. Islam mengajarkan saya untuk memurnikan hati dan jiwa saya," tandas Nelson.

Menjadi Ustadz di Kemiliteran AS Setelah Ditolak jadi Opsir

kisahmuallaf.com - Khalid Shabazz adalah satu dari lima pembimbing rohani muslim yang bertugas di basis militer AS di Eropa. Perjalanan hidup lelaki asal Alexandria itu, sampai menjadi seorang da'i yang memberikan bimbingan rohani bagi para prajurit AS di Eropa, cukup unik. Ia adalah seorang mualaf yang tekun mempelajari dan memperdalam Islam hingga dipercaya menjadi ustaz.

Nama aslinya adalah Michael Barnes, lulusan perguruan tinggi Jarvis Christian College, menganut aliran Kristen Lutheran. Sebelum bergabung dengan kemiliteran, Ia bekerja di jaringan pertokoan terkemuka di Baton Rouge dengan penghasilan 67 USD per minggu.

"Saat itu, istri saya sedang mengandung anak kedua. Saya harus melakukan sesuatu untuk hidup saya. Saya menemui tenaga rekrutmen dan akhirnya bergabung dengan kemiliteran. Saya masuk ke bagian artileri. Masuk ke kemiliteran adalah hal terbaik dalam kehidupan saya," ujar Shabazz.

Sebagai seorang prajurit artileri, Shabazz hidup prihatin. Tidur di tempat yang kondisinya sangat buruk, disumpahi, dibentak-bentak, tapi itu semua justru mendewasakannya sebagai manusia dan menjadi titik awal ia mengkaji ulang kehidupan religiusnya.

Suatu hari, Shabazz yang waktu itu belum masuk Islam bertanya pada seorang prajurit yang muslim tentang konsep-konsep ajaran Islam. Shabazz terpesona dengan respon dari prajurit muslim itu dan memutuskan untuk mempelajari agama Islam.

Selama dua tahun Shabazz menekuni agama Islam, dan dalam perjalanananya mempelajari Islam, ia memutuskan untuk menjadi staf di kemiliteran. "Saya masuk sekolah staf militer, karena saya ingin keluar dari pasukan artileri," ujarnya.

Dalam kurun waktu dua tahun itu pula, Shabazz memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim. Ia pun mengganti nama Michael Barnes menjadi Khalid Shabazz. Ujian pertamanya setelah menjadi seorang muslim adalah, ketika ia ditolak untuk meningkatkan skornya agar bisa masuk ke Sekolah Kandidat Opsir. Keislaman dan rutinitas Shabazz menunaikan salat Jumat, menjadi alasan penolakan itu.

Shabazz merasa sangat kecewa. Ia lalu mengadukan persoalannya dan bermaksud minta bantuan pada seorang pembimbing rohani Islam yang bertugas di kemiliteran. Ustaz yang ditemui Shabazz malah menanyakan, mengapa Shabazz tidak mencoba menjadi pembimbing rohani saja, jika ditolak masuk Sekolah Calon Opsir, agar ia bisa membantu orang yang menghadapi persoalan seperti dirinya.

Itulah awal cerita Shabazz menjadi seorang pembimbing rohani di dinas kemiliteran AS. "Saya kira hidup ini begitu menakjubkan. Kalau waktu itu saya dibolehkan meningkatkan skor nilai saya agar diterima di sekolah calon opsir, saya mungkin tidak akan pernah menjadi seorang pembimbing rohani atau ustaz di sini," ungkap Shabazz.

Bertugas Sebagai Ustaz di Kemiliteran

Shabazz lalu belajar metodologi Al-Quran, hadis dan perbandingan agama selama dua setengah tahun, untuk menjadi imam di Graduate School of Islamic and Social Sciences di Ashburn. Ia juga belajar bahasa Arab selama dua tahun di Universitas Yordania di Amman.

Shabazz resmi menjadi pembimbing rohani di kemiliteran AS pada tahun 1999. Ia ditugaskan ke berbagai negara untuk mendampingi para tentara AS yang bertugas di Afrika, Bosnia, Kosovo, Polandia dan Timur Tengah. Ia juga pernah ditugaskan di kamp penjara angkatan laut AS, kamp Guantanamo di Kuba, juga ke Irak selama 15 bulan.

Selama di Irak, Shabazz berkeliling ke barak-barak militer AS, memberikan pemahaman tentang Islam dan aspek budaya Islami pada para komandan dan prajurit nonmuslim. "Saya sampaikan pada para komandan pasukan AS di Irak, apa yang boleh dan tidak boleh berdasarkan ajaran agama Islam," tukasnya.

Shabazz mengatakan, prajurit yang muslim tidak berbeda dengan prajurit yang berlatar belakang agama lain. Tujuan utama mereka adalah ibadah. "Setiap Jumat, kami salat berjamaah. Kami saling memberikan dukungan satu sama lain, berusaha menciptakan kenyamanan bagi para jamaah dan memastikan jika para prajurit sedang menghadapi masalah dan kesulitan, kami selalu ada buat mereka," tandas Shabazz.

Dalam melaksanakan tugasnya, Shabazz mengaku lebih banyak menghabiskan waktunya untuk para prajurit yang nonmuslim. "Saya main bola basket dan angkat berat bersama mereka. Kebanyakan dari mereka dekat dengan saya bukan untuk alasan spiritual, tapi untuk mendapatkan pengarahan, saya menjadi mentor mereka," ujar Shabazz.

Mustafa Garment, Menemukan Islam di Saat Tersulit

Islam di Saat Tersulit

Mustafa
kisahmuallaf.com - Buku yang terletak di meja kantor Mustafa Garment berjudul "'Merubah' Rencana Permainan Anda. Bagi lelaki Afrika-Amerika yang memutuskan berpisah dari kehidupan kriminalnya dengan memeluk Islam, buku tersebut terkait erat ketimbang buku-buku yang pernah ada.

"Saya dapat katakan dengan mengubah rencana permainan, mengubah cara berpikir, karena seperti itulah cerita hidup saya," ungkap Mustafa, seorang kordinator forensik di Mahkamah Kesehatan Mental Brooklyn.

Mustafa, bercambang dan berpenuturan lemah lembut, 64 tahun itu tak sama dengan ia saat 20 puluh tahun lalu. Kini ia bekerja di Pengadilan Kesehatan Mental, sebuah lembaga yang berafiliasi dengan Mahkamah Tinggi Negara Bagian New York. Ia membantu penghuni penjara yang mengalami sakit mental dan kecanduan obat, mendapat perawatan layak

Tak ada satupun, menurut para sipir, yang dapat membantu lebih baik ketimbang Mustafa, lelaki yang telah menghabiskan awal kehidupannnya berjuang tanpa rumah dalam kecanduan obat-obatan dan alkohol.

Tumbuh besar di lingkungan sangat miskin, Harlem, masa kecil Mustafa diliputi penderitaan. "Saya ingat ketika luar biasa lapar. Saya ingat merasa begitu lemah karena kelaparan," ungkapnya.

Sentuhan pertamanya dengan narkoba dan alkohol--yang lantas menjadi bagian gaya hidup selama 30 tahun kemudian--terjadi saat Mustafa berusia 13 tahun.

Ia mengatakan untuk diterima di kalangan temanya ia mesti terlibat dalam rutinitas merokok mariyuana dan minum anggur.

"Saya sering bertemu dengan ibu saya di bar," ujarnya menuturkan dirinya yang dulu. Ia putus sekolah di tingkat menengah di awal masuk SMP.

Namun ketika ia mulai berkenalan dengan crack, istilah kokain khusus untuk rokok, gaya hidup kecanduan Mustafa mencapai klimaksnya.

Ia mulai mengambil barang-barang dan mencuri dan bahkan menjual narkoba demi memenuhi nafsu kecanduannya. "Ketika anda kecanduan kokain, pikiran pertama yang merasuki adalah bagaimana cara untuk mendapatkan lagi," ujarnya.

Mustafa pun tumbuh menjadi lelaki getir pemarah yang keluar masuk penjara lebih 30 kali gara-gara dakwaan tindak kriminal mulai dari pengedar hingga perampokan

Titik Balik

Berada di lingkaran narkoba dan penjara, Mustafa yang dibesarkan sebagai seorang Katholik, bersentuhan dengan Islam saat berusia 27 tahun.

Namun Mustafa mengakui jika perpindahan agama yang ia lakukan sebatas administasi, dan itu tidak menghentikannya dari tindak kriminal dan gaya hidupnya.

"Saya dulu tidak berpikir tentang mengubah rencana permainan saya," ujarnya.

Saat ia tetap meneruskan hidup dalam cengkeraman narkoba dan penjara, istrinya, seorang Muslim akhirnya menuntut cerai.

Setelah sekurangnya 40 tahun hidup di jalan, bertahan dari sup-sup sisa dapur restoran, mencuri dan menggunakan narkoba, Mustafa memutuskan untuk membuka lembar baru untuk dirinya.

Ia mulai mendatangi pertemuan Narkotik Tanpa Nama dan mencari bantuan dari The Bridge, sebuah organisasi yang membantu kaum gelandangan, dan mereka yang terkena masalah kekerasan.

Disanalah Mustafa kemudian bertemu Amin, pemandu Muslimnya yang membimbing ia menjadi Muslim sesungguhya saat dalam masa penyembuhan.

Amin sendiri ialah mantan pecandu heroin dan pasien AIDS. Ia mengenalkan Mustafa kepada Milliati Islami--program penyembuhan narkoba berdasar prinsip-prinsip Islam.

"Kita berbicara tentang mendekat kepada Allah, dan beribadah serta berdoa," kenang Mustafa.

Lucille Jackson, salah satu pengelola yang dulu menjalankan The Bridges, menyatakan penemuan kembali Mustafa atas islam menjadi salah satu titik baliknya.

"Ia mengambil manfaat dengan pandangan positif terhadap apa yang terjadi di sekitarnya nya. Ia menjadikan pengetahuan tersebut dengan sebaik-baiknya," kata Lucille.

Membantu Orang Lain

Lucille sangat terkesan hingga ia memutuskan memberi Mustafa pekerjaan di organisasi tersebut meski ia tengah menjalani penyembuhan.

Ketika Lucille menjadi Direktur Proyek Pengadilan Kesehatan Mental Brooklyn, ia ingin pula mempekerjakan Mustafa sebagai kordinator forensik. Namun karena catatan kriminal yang berderet, Lucille pun mesti mendapat ijin khusus dari pengadilan tinggi negara bagian. Wanita itu pun mendapatkan ijin tersebut.

Pekerjaan Mustafa melibatkan para penghuni penjara dengan layanan yang dibutuhkan untuk menyembuhkan gangguan mental dan masalah kekerasan yang mereka hadapi. Selain itu ia juga kerap memberi bantuan terhadap pengangguran dan gelandangan.

Meski ia tidak diminta berbagi pengalamannya dengan para pasien, Ia dengan suka rela membuka masa lalunya jika ia pikir itu akan membantu seseorang, terutama pemuda yang hidup dalam trauma tragedinya.

"Saya melihat hidup mereka dipotong. Saya akan memperlakukan mereka sebagai anak saya. Saya selalu katakan,'Raihlah pendidikan. Jangan lakukan itu terhadap dirimu sendiri," ujarnya.

Lucille melabeli dedikasi Mustafa sangat istimewa. "Ia adalah sosok manusia luar biasa," ujarnya.

"Ia tidak pernah membiarkan satu pun menghalangi jalannya dalam membantu klien. Bahkan jika perlu ia akan menempuh ekstra kilometer untuk sampai kesana," kata Lucille.

Saat ini, ayah sekaligus seorang kakek itu mengaku bersyukur saban hari telah menemukan Islam kembali selama masa sulit dalam hidupnya.

Selain pekerjaanya, Mustafa juga menyelesaikan Peningkatan Pendidikan Umum (GED). Ia juga cemerlang dalam kelas Bahasa Arab yang ia ambil demi upayanya memahami Al Qur'an secara penuh.

Mustafa bahkan berencana mengambil kuliah Studi Islam suatu hari kelak.

"Ketika kamu muda, kami terbiasa menyalahkan semua hal pada pria kulit putih," kenangnya.

"Namun kini saya seorang Muslim. Kondisi saya bergantung pada upaya dan kehendak Allah," ujarnya.

La Bianca, Perempuan Desa yang Memilih Menjadi Seorang Muslimah

La Bianca
kisahmuallaf.com - La Bianca hanya seorang perempuan desa sederhana yang dibesarkan di sebuah peternakan di Perth, Australia Barat. Ketika masih anak-anak, ia punya hewan kesayangan, seekor kanguru. Ia juga membantu orang tuanya mengurus sapi-sapi dan domba. Meski perempuan, La Bianca senang berburu. Kelinci dan anjing hutan menjadi sasaran buruannya.

Keluarganya tidak terlalu ketat mengajarkan agama. Tapi La Bianca percaya adanya Tuhan dan ia dididik dengan tradisi dan nilai-nilai moral keluarga Italia, dimana seorang anak gadis sangat dijaga dan dilindungi.

Setiap Minggu, La Bianca dan keluarganya mengikuti misa ke gereja. Namun buat La Bianca, kedatangannya ke gereja cuma ikut-ikutan keluarganya saja, karena ia mengaku tidak paham apapun tentang agama yang dianutnya. Yang ia tahu, ia harus mengenakan gaun berwarna putih dan mengucapkan beberapa baris doa saat harus melakukan komuni. Yang ia tahu, Yesus dan Maria hanya patung yang dipajang di gereja. Tapi, La Bianca tetap percaya Tuhan itu ada dan ia tetap berdoa pada Tuhan.

Hingga beranjak remaja, La Bianca tidak pernah pergi ke kota, sehingga ia menjadi remaja yang cenderung lugu dan naif. Meski demikian, ada sisi positif dari kondisi seperti itu. La Bianca menjadi remaja yang sikapnya lebih alamiah dan lebih terbuka. Jika orang-orang kota cenderung bersikap lebih keras dan emosional, orang desa seperti La Bianca cenderung menerima setiap orang apa adanya.

Baru pada usia 16 tahun, La Bianca meninggalkan kehidupan pedesaan. Keluarga besar La Bianca yang keturunan Italia, banyak tersebar dan tinggal di kota-kota Australia dan ia tinggal dengan salah satu bibinya.

La Bianca mendapat pekerjaan pertamanya sebagai resepsionis. Di tempat kerjanya ia bertemu dengan seorang muslimah asal Afrika Selatan bernama Tasneem. Tasneem bukan tipikal muslim yang taat. Ia tidak mengenakan jilbab atau salat, tapi Tasneem selalu memastikan ia tidak makan makanan yang dilarang dalam agama Islam. Tasneem juga tidak minum minuman beralkohol. Namun Tasneem sering pergi klubing. Orang tua Tasneem mengizinkan puterinya klubing, asalkan pulang tidak terlalu larut malam.

Satu hal yang dipelajari La Bianca dari Tasneem adalah puasa di bulan Ramadan. Ia selalu merasa tertarik dengan Muslim, karena setiap muslim yang ia jumpai selalu bersikap hangat, ramah dan menerimanya apa adanya, dan ia melihat seorang muslim selalu cinta keluarga. La Bianca merasa nyaman bersosialisasi dengan teman-teman muslimnya. Suasana kekeluargaan yang ia rasakan, membuatnya selalu teringat akan kehidupan pedesaan yang ia tinggalkan selama ini.

Secara khusus, La Bianca mengaku lebih senang bergaul dengan mereka yang berasal dari atau keturunan orang Afrika. Karena orang-orang Afrika, menurutnya, lebih hangat dan ramah. Sedangkan orang Eropa, kata La Bianca, sikapnya dingin dan banyak menciptakan dinding pemisah di tengah pergaulan dengan orang lain.

Sikap La Bianca sama dengan ayahnya, yang selalu menghormati semua orang, tanpa melihat latar belakang etnisnya. Berbeda dengan ibunya yang agak rasis. Ibu Bianca masih beranggapan bahwa orang-orang Eropa lebih superior dibandingkan dengan bangsa lainnya.

Karena sering bergaul dengan muslim, teman-teman muslim Bianca terus bertambah. Dari mereka, ia tahu bahwa seorang muslim wajib menunaikan salat lima waktu setiap hari. Tapi La Bianca mulai banyak tahu tentang Islam ketika ia menikah dengan seorang lelaki muslim.

"Saya ingat, begitu ia bertemu saya, ia langsung mengenalkan saya pada ibunya dan mengatakan bahwa mereka ingin membuat komitmen jangka panjang--menikah dan membangun keluarga," tutur La Bianca.

Sejak itu, ia mulai mengikuti kursus agama Islam. Ia juga mulai mengubah cara berpakaiannya. La Bianca mulai mengenakan baju dan rok yang longgar. Ia mengatakan, saat belajar tentang Allah yang Mahabesar, ia merasa semua ajaran Islam masuk akal, indah dan harmonis.

Hal terberat bagi Bianca setelah belajar Islam adalah ketika ia mengenakan jilbab. Jilbab yang dikenakannya, mengubah citra dan sangat mempengaruhi jiwanya. "Di kampung halaman, di peternakan keluarga kami, di tempat kerja, orang selalu menanyakan mengapa saya mengenakan jilbab itu," ungkap Bianca.

Pertama kali melihatnya berjilbab, ayah Bianca berpikir bahwa Bianca tidak menghormati teman-teman ayahnya jika tidak mengenakan busana yang membuat senang teman-teman ayah Bianca. Bianca mengakui, awalnya ia merasa bersalah karena membuat ayahnya merasa tidak dihormati. Tapi seiring dengan menguatnya keyakinan pada Allah Yang Mahakuasa, Bianca menyadari bahwa ia ingin membuat Allah Swt senang lebih dari keinginannya untuk menyenangkan manusia.

"Saya berkata pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak mau membuat konsensi apapun, karena saya tahu bahwa saya sudah melakukan hal yang benar. Saya juga tahu, jika saya mulai melakukan kompromi, maka kompromi itu tidak akan pernah berhenti dan saya akan hidup tanpa Islam sama sekali. Saya tidak mau itu terjadi," tukas La Bianca.

Meski awal mengenakan jilbab ia merasa repot dan kesulitan. La Bianca merasakan sendiri, setelah mengenakan jilbab, tak ada lelaki yang berani menggodanya dan ia merasa lebih dihormati sebagai perempuan.

"Saya mengagumi konsep bahwa kaum perempuan ibarat harta karun berharga, dan oleh sebab itu harus dilindungi dan hanya boleh dilihat oleh mereka yang berhak melihatnya," ujar La Bianca.

Ia akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh beberapa orang sahabatnya pada tahun 2008. Bagi Bianca, Islam adalah kebenaran dan ia ingin terus dan terus memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Suami dan keluarga suaminya memberikan dukungan moral pada La Bianca untuk mengenakan jilbab, meski butuh waktu untuk La Bianca untuk pada akhirnya mengenakan jilbab dengan benar.

Pihan, Yakin Sudah Melakukan Tindakan yang Benar dengan Masuk Islam

Khadija
kisahmuallaf.com - Khadija Acuna Pihan, perempuan asal Jerman ini bersyahadat pada tahun 2005. Pilihannya menjadi seorang muslimah membuatnya harus "kehilangan" seluruh keluarganya yang tidak bisa menerima keislamannya. Namun ia yakin, suatu saat Allah Swt akan mengembalikan keluarganya dan memahami mengapa ia memilih masuk Islam.

"Islam adalah jalan kebenaran yang akan saya jalani. Sekarang, setiap kali saya berdoa, saya merasa sedang bicara pada Tuhan, dan Tuhan sedang mendengarkan saya," kata Pihan mengawali cerita di awal ia menjadi seorang muslimah.

Ia mengatakan, Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki ajaran yang jelas. "Siapa yang membaca Qur'an dengan hatinya, akan menemukan sebuah agama yang terang. Saya meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan dan saya bahagia menemukan jalan saya dengan-Nya. Saya yakin sudah melakukan tindakan yang benar dengan masuk Islam. Saya bersyukur, Tuhan menuntun saya ke jalan yang benar," ujar Pihan yang memilih nama Islam, Khadija setelah bersyahadat.

Acuna Pihan lahir dan dibesarkan dalam ajaran Kristen. Ia dan keluarganya rajin ke gereja. Namun, saat datang ke gereja dan mendengar cerita pendeta bahwa Yesus adalah anak Tuhan, selalu terpintas dalam pikiran Pihan mengapa pendeta ini bicara seperti itu dan Pihan tidak mau mengarnya.

"Saya membaca doa yang saya pelajari sejak saya berusia 7 tahun. Tapi saya merasa tak seorang pun mendengarkan doa saya, bahkan Yesus. Mengapa orang-orang ini datang ke gereja dan setelah itu para lelaki pergi ke restoran untuk minum minuman keras, lalu para perempuan bertengkar dengan mereka karena pulang dalam keadaan mabuk. Inikah ajaran Kristen?" tanya Pihan dalam hati.

Pihan yakin pasti ada hal lain yang diajarkan agama. Ia pun mempelajari berbagai agama. "Banyak agaman yang aneh. Orang menyembah Buddha sebagai Tuhan atau menyembah matahari, sapi, bunga, bahkan setan. Hal semacam itu bukan agama saya," batin Pihan ketika itu.

Ia lalu menemukan buku tentang Nabi Muhammad Saw. dan mengetahui bagaimana Rasulullah Saw. menyebarkan agama Islam serta betapa berbahayanya hidup sebagai seorang muslim di zaman itu. Pihan juga membaca sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw, mulai dari silsilah keluarganya, kehidupan rumah tangganya dan siapa saja istri-istri beliau.

"Saya tidak bisa berhenti saat membaca buku itu, sehingga saya membaca semua buku-buku itu dalam satu hari. Buku yang saya baca menceritakan tentang kitab suci Al-Quran yang berisi firman-firman Allah dan rasa ingin tahu saya tentang Quran pun muncul," ujar Pihan.

"Ketika saya membaca surat Al-Fatihah, jantung saya berdebar hebat. Saya terus membaca surat-surat lainnya dan saya hati saya tenang saat membacanya. Ketika saya membaca surat Maryam dan mengetahui apa yang tertulis di surat itu, saya jadi paham mengapa saya tidak bisa memercayai apa yang dulu dikatakan pendeta di gereja," tukasnya.

Ia melanjutkan, "Dalam Kristen, kami belajar bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan kami harus berdoa padanya. Itulah yang kami lakukan selama ini. Lalu, saya membaca Quran yang usianya sudah ribuan tahun, dan isinya selalu sama bahwa Yesus hanya seorang nabi seperti juga Nabi Muhammad Saw serta nabi-nabi lainnya. Quran juga menyatakan bahwa Tuhan tidak punya anak dan kita dilarang menyembah Tuhan yang lain kecuali Allah Swt."

Kata-kata dalam Quran yang membuat Pihan beralih ke agama Islam. Selain itu, yang membuatnya meyakini Quran, meski kitab suci itu sudah berusia ribuan tahun, isinya tidak berubah. Berbeda dengan kitab suci umat Kristiani, Kita Perjanjian Lama isinya berbeda dengan Kitab Perjanjian Baru, padahal dalam ajaran Kristen disebutkan bahwa Tuhan mengatkan "Jangan mengubah kata-kata ku kecuali aku perintahkan kalian mengubahnya."

"Kristen memiliki 10 ajaran suci. Salah satunya adalah dilarang membunuh manusia. Tapi ketika orang-orang Kristen datang ke Amerika Selatan, mereka membunuh banyak orang Indian karena orang-orang Indian itu menolak masuk Kristen. Hal yang sama dilakukan orang-orang Kristen di Afrika," papar Pihan.

"Jadi, bagaimana mereka mengajarkan kita jangan membunuh, jika mereka sendiri membunuh. Semua itu membuat saya ingin pindah agama. Saya capek dengan kebohongan ajaran Kristen dan saya menemukan Islam satu-satunya agama yang memiliki ajaran yang jelas ..."

"Islam membawa kembali kebebasan dalam jiwa saya dan saya bahagia sejak awal saya masuk Islam. Islam adalah hidup saya. Tanpa Islam saya bukan apa-apa, dan jika Allah Swt memalingkan wajah-Nya, saya tak mampu hidup," tandas Pihan.

JR Farrel, Dulu Sangat Membenci Muslim Namun Kini Islam adalah Hidupnya

JR Farrell
kisahmuallaf.com - JR Farrell masih mengingat betul masa kecilnya, bagaimana kedua orang tuanya bertengkar gara-gara uang, situasi kehidupan dan perkara-perkara lain. Tak hilang pula dari kenangannya saat ia mesti hidup di rumah-rumah sosial di sisi selatan Chicago hampir tanpa apa pun untuk di makan.

"Dengan keluarga beranggotakan 10 orang, sulit bagi ayah saya untuk menopang hidup sesuai dengan cara yang paling diinginkan,'tuturnya.

Masa muda yang sulit

Ayah Farrell  berdarah campuran Jerman dan Irlandia adalah pekerja keras tapi juga pemabuk. Meski kerap memukuli ibunya, Farrell mengaku masih mencintai ayahnya.

Setiap kali pulang dalam kondisi mabuk dan kesal terhadap sesuatu ia akan mendatangi Farrell dan adik-adinya serta menimpakan semua lewat pukulan hingga tak ada yang bisa dilakukan. Farrell kerap tak bisa berjalan atau bernafas gara-gara pukulan tadi. Begitu pun bila kakak lakinya mengoceh dan jengkel ia pun akan menerima serangan fisik. "Itulah sebagian besar masa kecil saya." kenang Farrell

Masuk masa remaja, semua yang ada di sekitar Farrell mulai menggoda, teman wanita, minuman, klub malam, obat-obatan dan yang lain. "Tapi entah saya tak bisa, saya melarang diri untuk terlibat dalam semua tadi. Saya hanya merasa itu tidak benar."

Salah satu adiknya ternyata adalah pengedar narkoba terbesar di Chicago. Hampir setiap hari ia membawa jenis obat-obatan ke rumah untuk dijual eceran di lingkungan sekitar. Si adik paham betul pandangan Farrell.

Begitu adiknya tak berada di rumah, Farrell membuang semua obat-obatan senilai 1000 dolar ke toilet dan mengguyurnya. Saat pulang dan mengetahui itu, adiknya, tutur Farrell, sangat bernafsu membunuhnya. "Ia mungkin akan membunuh saya bila memiliki kesempatan. Tentu saya dibela orangtua karena saya lebih tua dan saya dianggap harus mengajarinya untuk lebih baik.

Pencarian Pengetahuan

Semua peristiwa dalam masa kecil hingga remaja membuat Farrell menyadari betapa rapuh kehidupan. "Saya tak ingin mati sebagai idiot, jadi saya mulai belajar apa pun dan semuanya." tutur Farrell.

"Satu hal yang patut diketahui tentang keluarga saya, mereka sangat kompetitif terhadap satu dan yang lain. Begitu mereka melihat salah satu anggota lebih maju maka mereka ingin menghentikan anda dari jalur dan membuat anda tak bisa melangkah lebih maju," ujarnya.

Mengetahui antusias Farrell, orangtuanya cemas. Mereka mengkhawtirkan ia akan tercuci otak atau mengikuti aliran atau mengkultuskan sesorang. Mereka benar. Pada 1994, Farrell menjadi Nazi. Ia mengaku saat itu menyukai fakta bahwa Hitler memiliki kendali atas ribuan orang. "Menjadi Nazi, membuat saya merasa penting, menjadi seseorang." Untuk satu ini, ayahnya tak menentang, justru senang dengan seluruh pemikiran Farrell.

Ada alasan mengapa ayah Farrell suka dengan gagasan Nazi. Sedikit ke belakang pada 1960-an, ketika Martin Luther King Jr. mulai membakar semangat orang-orang dengan 'mimpinya', ayah Farrell menrencanakan menyingkirkan semua warga kulit hitam dari area pertanian Chicago.

Satu fakta, ketika Martin Luther King Jr bersama pendukungnya turun ke jalan di sisi barat Chicago, ayahnya telah mengorganisir massa. Geng itu tak hanya membuat kulit hitam keluar kota, tetapi juga memicu perang antara kulit putih dan kulit hitam. Hari itu pula, ayah Farrell menghantam hidung Martin Luther King dengan batu bata, dan hingga kini, tutur Farrell, ia selalu berkoar-koar tentang itu.

Lama setelah itu, tahun 1997, keluarganya beserta Charles Mason memulai lagi misi rahasia. Farrell berda di sana ketika mereka mengorganisir serangan terhadap bocah kulit hitam berusia 11 tahun yang tak sengaja berjalan di lingkungan kulit putih Chicago. Mereka bisa membunuhnya setelah menganiaya si bocah, namun memilih meninggalkan ia berdarah-darah sebagai tanda peringatan. Setelah menyaksikan itu, Farrell merasa gagasan Nazi dan semua berbau ras tak lagi cocok dengannya.

Titik Balik

Pada 1995, Farrell bertemu dengan wanita pertama yang membuat ia jatuh cinta. Meski ia memiliki kesempatan untuk berbuat apa pun dengan gadis tersebut, lagi-lagi ia melarang dirinya. "Saya tidak bisa, saya tak membolehkan diri saya untuk memiliki hubungan intim dengan seseorang yang tidak saya nikahi." ujarnya.

Beberapa bulan setelah itu ia melamar kekasihnya. Mereka bertunangan tanpa sekalipun berhubungan seksual, sesuatu yang tidak biasa di kalangan barat. "Kami berdua paham bahwa akan banyak masalah terjadi bila kami lakukan itu," tutur Farrell.

Saat bersama kekasihnya ia mulai lebih fokus. Farrell terus belajar dan belajar. "Saya tahu saya merasa kehilangan sesuatu dan mulai menyadari kehidupan dan tujuan saya hidup, hanya saja saya tak bisa menunjuk pasti," tutur Farrell.

Semakin ia membaca, semakin besar pula upaya orang tuanya untuk menariknya mundur, seperti yang ia tuturkan soal keluarganya yang kompetitif. Orangtua Farrell mulai melakukan serangan mental. "Mereka mengatakan betapa buruknya saya waktu kecil dan bagaimana saya tidak berterima kasih sebagai anak atas makanan dan tempat berteduh yang mereka berikan untuk saya," tutur Farrell.

"Orang tua saya tak pernah lulus SMA. Mereka hanya sampai tingkat 8 lalu putus sekolah saat tingkat 9. Karena itu pendidikan orang tua saya terbatas. Semua yang mereka tahu hanyalah berdasar apa yang mereka lihat di TV dan perilaku orang-orang," kata Farrell.

Namun bukan berarti Farrell tak menghargai orangtuannya. "Saya memiliki rasa terima kasih besar terhadap apa yang mereka lakukan. Saya menghargai disiplin mereka," ungkap Farrell. Atas didikan mereka pula ia sudah mendapat pekerjaan pertama pada usia 12 tahun. Pada usia 13 ia sudah bekerja penuh waktu dengan pendapatan setara yang dihasilkan orangtuanya.

Pada usia 16 tahun ia telah memiliki apartemen pertamanya. Ia memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian, berbelanja sendiri. Farrell tengah bersiap menikah. Saat itu ia mengikuti pandangan orang tuanya yang menilai seseorang berdasar perbuatannya "Saya sepakat dengan orang tua saya, hingga kini," akunya.

"Namun itu pula yang membuat saya membenci Muslim dan Islam. Saya sungguh benar-benar membenci Muslim dalam tingkat yang tak anda percayai," ujarnya. Karena media? "Ya itu bagian dari propaganda, namun sebagian besar saya menilai itu karena ulah Muslim. Mereka kadang adalah pihak yang merusak reputasi Islam sehingga membenci kami. Itu menyedihkan tapi itu faktanya," ujar Farrell yang telah memeluk Islam.

Hadiah Paling Berharga

Pada 1997, tunangan Farrell memberinya Al Qur'an sebagai hadiah. "Semata-mata karena saya begitu suka membaca," tuturnya. "Sekedar memberitahu bagaimana dulu saya membenci Muslim, begitu ia memberi Al Qur'an kami bertengkar hebat dan kami putus hingga beberapa saat," kenang Farrell.

Akhirnya suatu malam ia mengambil kitab suci tersebut dan mulai membacanya. "Saya masih ingat betul saat itu, rumah begitu bersih, udara terasa enak dan nyaman, sorot lampu sungguh pas untuk membaca. Itu Alquran versi terjemahan Abdullah Yusuf Ali," tutur Farrell.

Ia membaca bagian awalan, tiga halaman pertama, dan, "Saya mulai menangis seperti bayi. Saya menangis dan menangis. Saya tak bisa menahan diri. Seketika saya tahu bahwa inilah yang saya cari selama lini. Saya seperti ingin memukuli diri sendiri karena tak segera menemukan sejak dulu," ujar Farrell.

Ia merasa tersihir oleh bait-bait Al Qur'an. "Ini bukan Islam yang saya kenali. Ini bukanlah Arab, bukan sesuatu yang buruk yang saya pikir sebelumnya," kata Farrel. Ia merasa hidupnya dibungkus sepenuhnya dalam halaman-halaman tadi. Farrell menjumpai seperti membaca jiwanya dalam Alqur'an. "Sungguh indah, tetapi juga membuat saya menyesali diri. Setelah itu saya kembali menjalin hubungan dengan tunangannya dan mendiskusikan banyak hal secara dewasa," ujarnya. Tak lama setelah itu, Farrel dan tunangannya memeluk Islam dan beritikad untuk hidup sebagai Muslim, meski itu berarti tinggal terpisah.

Begitu orangtua Farrel mengetahui itu, pecahlah kemarahan mereka. "Ayah saya mengancam membunuh saya. Ia berkata, 'Kamu lahir Katholik, jadi tolong Tuhan, saya akan memastikan kamu mati sebagai Katholik,'". Reaksi ibu Farrell pun setali tiga uang.

Saat itu Farrell berhasrat besar untuk kuliah. "Saya ingin menempuh pendidikan formal. Saya dapat pekerjaan dan membayar semua kebutuhan untuk melanjutkan pendidikan saya hingga ke perguruan tinggi," tuturnya.

Saat itu pula ia didepak keluar dari rumah dan Farrell pun tinggal di jalan selama 6 bulan. "Saya menyantap makanan dari tempat sampah, tidur di luar saat malam-malam terdingin, waktu itu tahun 1999," tutur Farrell.

Namun itu semua tak menyurutkan semangat Farrell. "Saya berjalan bermil-mil untuk bisa bersama Muslim. Saya dikejar keluar dari lingkungan tertentu oleh polisi hanya gara-gara masuk ke lingkungan kulit hitam demi mengikuti shalat Jumat. Saya dilempari batu, diludahi, dikasari. Saya hanya ingin bisa bersama Muslim lain,"

Hingga suatu hari ia bertemu seorang teman yang membantunya. Si teman berkata, bila Farrell bisa membangun sebuah masjid dalam toko knalpotnya, maka ia bisa tinggal di sana hingga menemukan tempat lebih layak. Farrell pun setuju.

Toko itu memiliki ruang di tingkat dua, sekitar 186 meter persegi yang dipakai untuk gudang. Setiap hari Farrell menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuang sampah dan memindahkan pasokan inventaris. Dalam satu bulan ia telah menggarap setengah ruangan, membangun dinding, menambah jendela, memasang satu pintu, menggelar karpet, mengecat dan akhirnya membuka masjid toko knalpot pertama di Kota Chicago. "Saya belajar pertukangan dari paman saya. Itu adalah pekerjaan penuh waktu saya yang pertama." tuturnya.

Sekitar 6 bulan berikut ia berhasil mendapat satu pekerjaan bagus dan pindah bersama dua teman ke apartemen baru. Tunangannya tak ada dalam adegan hidupnya kini. "Kami telah setuju untuk hidup sebagai Muslim, bukan seperti orang bodoh. Saya lebih mencintai dia dari sebelumya, namun menjadi Muslim jauh lebih penting dari pada bersama seseorang dan kami belum menikah," ungkap Farrell.

Pada 1999 ia menjadi Presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim di kampusnya. Setiap hari ia menghadiri majelis taklim, ke seminar. Ia mulai memiliki seseorang yang menjadi tempat bertanya dan membangun hubungan dengan teman-teman Muslim lain.

Pergi Haji

Pada tahun 2000 Farrell melaksanakan ibadah Haji. Sebuah pengalaman yang tak pernah ia lupakan. Ia mengunjungi Madinah dan lingkungan di sekitarnya. "Satu hal yang saya sadari Haji adalah kebenaran tentang Tuhan dan sejarah Islam. Selama ini saya mungkin hanya bisa mengetahui dari buku mengenai tempat dan orang-orang, di sana saya melihat dengan mata sendiri keajaiban sejarah Islam. Saya seperti hidup dalam sejarah. Saya merasa Hadis-hadis menjadi hidup. Saya seperti menyaksikan sahabat di atas puncak bukit. Saya mencium bau perang Badar. Saya menghirup udara yang dulu juga dihirup Rasul," tutur Farrell.

Meski ia sendiri tanpa istri dan keluarga, Farrell menyadari Islam adalah kehidupan. "Bukan hanya cara hidup tapi kehidupan itu sendiri. Saya memahami Islam bukan sekedar agama, karena agama dapat dibiaskan. Saya memahami bahwa Muslim bukanlah Islam dan Islam tak bisa dinilai karena aksi Muslim. Muslimlah yang dihakimi oleh nilai-nilai Islam.

Farrell selalu bermimpi bekerja di sektor bantuan yang meringankan dan menolong beban orang lain. Kini Farrell bekerja untuk Global Relief Fondation dan telah bergabung selama setahun

Dalam sebuah essay, Farrell menulis, "Sebanyak yang bisa saya tuturkan, tak ada yang dapat memaparkan isi hati saya. Saya hanya menyebut sedikit dari kendala yang sayah hadapi. Saya tahu banyak orang di luar sana mengalami jauh lebih banyak mungkin lebih buruk lagi. Tujuan saya berbagi adalah untuk mengatakan bahwa saya memahami kesulitan yang dialami mereka di sana, Wassalamu'alaikum"

Kareem Abdul Jabbar, Lompatan Iman Si Raja Basket

n Iman Si Raja Basket

Kareem Abdul Jabbar
kisahmuallaf.com - Islam adalah anugerah yang tinggi dalam menunjukkan jalan kebenaran umat manusia.

Sosok Kareem Abdul Jabbar diakui banyak pemain basket sebagai salah satu pemain basket terbesar sepanjang masa. Shooting, Slam dunk, rebound, block , maupun aksi lainnya, sangat memukau. Tak jarang, lawannya dibuat kesulitan untuk membendung agresivitas pemain bertinggi badan 2,18 meter ini.

Dengan dukungan postur tubuhnya yang sangat tinggi, Kareem Abdul Jabbar sering kali melakukan aksi yang brilian. Lompatannya sering mengundang kagum para penonton maupun tim lawan. Atas aksi dan kesuksesannya membawa klubnya meraih tangga juara, Kareem Abdul Jabbar pernah dinobatkan sebagai pemain terbaik di kompetisi liga bola basket Amerika Serikat (NBA Most Valuable Player ). Predikat itu diraihnya sebanyak enam kali.

Selama bermain di ajang NBA, ia berhasil membukukan rekor sebagai pencetak angka tertinggi sepanjang masa dengan 38.387 poin. Karenanya, ia mendapat julukan 'Raja Bola Basket'. Dan berkat prestasinya ini, 19 kali ia terpilih untuk memperkuat tim NBA All-Star.

Karier pria kelahiran New York City, 16 April 1947, di ajang bola basket Amerika dimulai ketika bermain untuk tim bola basket kampus, Universitas California, Los Angeles (UCLA). Aksi-aksinya di tim UCLA, mendapat perhatian serius para pelatih basket Amerika Serikat saat itu.

Dan tahun 1969, ia mendapat tawaran bermain di level kompetisi basket tertinggi di Amerika Serikat (NBA) dengan bergabung bersama klub Milwaukee Bucks. Di klub barunya ini, ia turut memberi andil besar dengan merebut juara NBA tahun 1970-1971.

Pada 1975, ia bergabung dengan tim basket asal Kota Los Angeles, LA Lakers. Di klub inilah karier Kareem makin melesat. Ia berhasil membawa La Lakers merebut sejumlah gelar juara untuk klubnya. Di samping itu, ia juga berhasil merebut gelar pribadi, yakni sebagai pemain terbaik NBA. Di klub ini, ia bermain sejak 1975-1989.

Masuk Islam

Atas aksi-aksinya yang hebat itu, Kareem menjadi salah satu pemain andalan NBA All-Star dan Amerika Serikat dalam ajang Olimpiade. Ia juga menjadi pemain kebanggaan negeri Paman Sam tersebut. Tak hanya itu, ia juga merupakan pemain kebanggaan umat Islam di seluruh dunia.

Ya, pemain bernama lengkap Ferdinand Lewis Alcindor Junior (Jr) ini, adalah salah seorang atlet NBA pemeluk Islam. Ia mendeklarasikan diri sebagai seorang Muslim pada saat kariernya tengah menanjak.

Saat itu, seusai mempersembahkan gelar juara NBA untuk Milwaukee Bucks tahun 1971, dan pada saat yang sama merebut gelar pemain terbaik ( Most Valuable Player , MPV) dan 'Rookie of the Year' (Pendatang baru terbaik) di Liga NBA, Kareem menyatakan diri memeluk Islam. Perpindahan kepercayaan dari Katolik menjadi Muslim ini, dirasakannya sebagai sebuah lompatan tertinggi selama hidupnya.

Ayahnya, Ferdinand Lewis Alcindor Sr, dan ibunya, Cora Lilian, adalah seorang pemeluk Katolik. Karenanya, sejak kecil ia mendapatkan pendidikan di sekolah Katolik. Oleh kedua orang tuanya, ia dimasukkan ke Saint Jude School. Ketika duduk di bangku SMA, ia berhasil membawa tim basket sekolahnya menjuarai New York City Catholic Championship.

Perkenalan Kareem dengan ajaran Islam terjadi lewat salah seorang temannya yang bernama Hamaas Abdul Khaalis. Ia mengenal Hamaas melalui ayahnya. Seperti halnya sang ayah yang seorang musisi jazz, Hamaas juga pernah mengeluti musik jazz. Dia adalah mantan drumer jazz. Dari Hamaas inilah, kemudian Kareem belajar banyak mengenai Islam. Ia juga sempat berkenalan dengan Muhammad Ali (Cassius Clay) yang sudah menjadi Muslim.

Nama budak

Setelah banyak belajar Islam dari Hamaas, tekadnya untuk memeluk Islam pun semakin bulat. Atas ajakan Hamaas, ia kemudian mendatangi sebuah pusat kebudayaan Afrika di Harlem, di mana kaum Muslimin menempati lantai lima gedung itu. ''Saya pergi ke sana dengan mengenakan jubah Afrika yang berwarna-warni,'' terangnya.

Kepada seorang pemuda yang ditemuinya di pusat kebudayaan Afrika ini, ia mengutarakan niatnya untuk menjadi seorang Muslim. Di hadapan mereka, ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Ketika pertama kali mengucapkan kalimat syahadat, mereka memanggilnya dengan Abdul Kareem.

Namun, Hamaas berkata, ''Anda lebih tepat sebagai Abdul-Jabbar.'' Sejak saat itu, bertepatan dengan tanggal 1 Mei 1971 atau sehari setelah Milwaukee Bucks memenangi kejuaraan NBA, ia memutuskan untuk mengganti namanya dari Ferdinand Lewis Alcindor Jr menjadi Kareem Abdul-Jabbar. Keputusan untuk mengganti nama tersebut, menurut Kareem, juga didorong keinginan untuk menguatkan identitasnya sebagai orang Afro-Amerika dan sebagai seorang Muslim.

''Saya tidak akan menggunakan nama Alcindor. Secara literal itu adalah nama budak. Ada seorang laki-laki bernama Alcindor yang membawa keluarga saya dari Afrika Barat ke kepulauan Dominika. Dari sana mereka pergi ke kepulauan Trinidad, sebagai budak, dan mereka mempertahankan namanya. Mereka adalah budak-budak Alcindor. Jadi, Alcindor adalah nama penyalur budak. Ayah saya melacak hal ini di tempat penyimpanan arsip,'' terangnya.

Sebagai anak satu-satunya, keputusan Kareem untuk memeluk Islam sempat membuat khawatir kedua orang tuanya. Namun, kekhawatiran tersebut berhasil ia tepis. ''Mereka tahu saya bersungguh-sungguh. Saya pindah agama bukan untuk ketenaran. Saya sudah menjadi diri saya sendiri, dan melakukan itu dengan cara saya sendiri, apa pun konsekuensinya.''
Baginya, Islam adalah anugerah dan hidayah Allah yang tertinggi dalam menunjukkan jalan kebenaran bagi umat manusia.

Rajin Belajar

Di sela-sela kesibukannya bermain basket, Kareem masih sempat meluangkan waktu untuk mendalami Islam. ''Saya beralih ke sumber segala ilmu. Saya mempelajari bahasa Arab. Saya mulai membaca Alquran dalam bahasa Arab. Saya dapat menerjemahkannya dengan bantuan kamus. Untuk menerjemahkan tiga kalimat saya membutuhkan waktu 10 jam, tetapi saya memahami apa yang dimaksudkan secara gramatikal,'' ujarnya.

Namun, diakui dia, cukup sulit baginya untuk bisa menunaikan kewajiban shalat lima kali setiap hari. Kesulitan untuk menjalankan shalat lima waktu ini, terutama dirasakan ketika ia sedang bermain. ''Saya terlalu capai untuk bangun melakukan shalat Subuh. Saya harus bermain basket pada waktu Maghrib dan Isya. Saya akan tertidur sepanjang siang di mana saya seharusnya melakukan shalat Zuhur. Begitulah, saya tidak pernah bisa menegakkan disiplin itu,'' paparnya.

Begitu juga tatkala bulan Ramadhan tiba. Aktivitasnya yang cukup padat di lapangan, terkadang memaksanya untuk membatalkan puasa. Untuk membayar utang puasanya ini, Kareem selalu mengeluarkan fidyah.

''Karena saya tidak dapat berpuasa di bulan Ramadhan, saya selalu memberi makan sebuah keluarga. Saya memberi sedekah. Saya memberi uang kepada rekan sesama Muslim dan mengatakan kepadanya untuk apa uang itu.'' Pada 1973, Kareem mengunjungi Makkah, dan menunaikan ibadah haji.

Pada 28 Juni 1989, setelah 20 tahun menjalani karier profesionalnya, Kareem memutuskan untuk berhenti dari ajang NBA. Sejak berhenti bermain, menurut Kareem, dirinya menjadi semakin baik dan dapat menjalankan semua kewajibannya sebagai seorang Muslim.

''Saya rasa saya harus beradaptasi untuk hidup di Amerika. Yang dapat saya harapkan hanyalah semoga pada Hari Akhir nanti Allah rida atas apa yang telah saya lakukan,'' tukasnya.

Antara Akting, Menulis, dan Melatih

Setelah pensiun bermain basket, berbagai tawaran datang kepadanya. Namun, bukan tawaran untuk melatih sebuah tim bola basket, melainkan tawaran untuk beradu akting di depan kamera. Dunia akting sebenarnya bukan merupakan hal yang baru bagi seorang Kareem Abdul-Jabbar. Ketika masih memperkuat LA Lakers, ia pernah bermain di film Game of Death yang dirilis tahun 1978. Di film laga ini, ia harus beradu akting dengan Bruce Lee. Tawaran untuk bermain kedua kalinya di film layar lebar datang di tahun 1980. Saat itu ia harus memerankan tokoh kopilot Roger Murdock dalam film komedi Airplane! .

Penampilan Kareem di layar televisi dan film tidak berhenti sampai di situ. Ia tercatat pernah bermain di sejumlah serial televisi di Amerika Serikat. Di antaranya adalah serial komedi situasi Full House, Living Single, Amin, Everybody Loves Raymond, Martin, Different Strokes, The Fresh Prince of Bel-Air, Scrubs , dan Emergency! . Dia juga muncul di film televisi Stepen King's The Stand dan Slam Dunk Ernest . Di serial Full House , ia harus beradu akting dengan anaknya sendiri, Adam.

Pada 1994, Kareem juga menjajal peruntungannya di balik layar dengan menjadi co-producer eksekutif dari film televisi The Vernon Johns Story . Kemudian pada 2006, ia tampil dalam acara The Colbert Report . Pada 2008 ia berperan sebagai seorang manajer panggung dalam Nazi Gold .

Di luar dunia akting, ternyata ayah dari Habiba, Sultana, Kareem Jr, Amir, dan Adam ini memiliki bakat yang lain, yakni dalam bidang tulis menulis. Selain dikenal sebagai pemain basket dan bintang film, Kareem juga dikenal sebagai seorang penulis buku. Ia sudah menulis sedikitnya tujuh buku yang kesemuanya best seller .

Buku-buku hasil karyanya, antara lain Giant Steps yang ditulisnya bersama Peter Knobler (1987), Kareem (1990), Selected from Giant Steps (1999), Black Profiles in Courage: A Legacy of African-American Achievement yang ditulisnya bersama Alan Steinberg (1996), A Season on the Reservation: My Sojourn with the White Mountain Apaches yang ditulisnya bersama Stephen Singular (2000), Brothers in Arms: The Epic Story of the 761st Tank Battalion dan WWII's Forgotten Heroes yang ditulisnya bersama Anthony Walton (2005), dan On the Shoulders of Giants: My Journey Through the Harlem Renaissance yang ditulisnya bersama Raymond Obstfeld (2007).

Kendati demikian, olahraga basket tidak bisa dipisahkan dari diri Kareem. Salah satu keinginan terbesarnya saat ini adalah bisa melatih salah satu klub NBA. Setelah memutuskan berhenti bermain, posisi tertinggi Kareem hanya sebagai asisten pelatih sejumlah klub NBA. Los Angeles Clippers dan Seattle SuperSonics menggunakan jasanya untuk melatih center muda Michael Olowokandi dan Jerome James.

Pada 2005, ia kembali ke Lakers sebagai asisten khusus pelatih kepala Phil Jackson. Tugasnya mengasah kemampuan center muda Lakers, Andrew Bynum. Ia dinilai berhasil dengan semakin meningkatnya performa Bynum. Musim lalu, Kareem berjasa mengantarkan Lakers juara NBA dengan kontribusi 14 poin dan delapan rebound per game .

Ia juga pernah menjadi pelatih kepala, tapi hanya di tim sekelas Oklahoma Storm. Tim ini bermain di United States Basketball League pada 2002, sebuah liga kelas bawah tempat para pemain mengasah kemampuan sebelum berkiprah di NBA atau liga-liga lain. dia/sya/taq

Sally, Jika Ingin Pindah Agama, Pindahlahlah ke Islam

kisahmuallaf.com - Sally berasal dari keluarga Filipina penganut Katolik yang taat. Ia dididik dengan nilai-nilai dan tradisi ajaran Katolik. Pada usia 15 tahun, Sally masuk biara dan bahagia menjalani kehidupan sebagai biarawati.

"Saya bahagia karena saya bisa melaksanakan tugas-tugas saya sebagai biarawati dan orang-orang di sekeliling saya, termasuk keluarga juga bahagia melihat saya," ujar Sally.

Hingga datang suatu masa ketika Sally mulai bertanya pada dirinya sendiri, setiap malam, "Apa yang saya lakukan di dalam biara ini?" Ia jadi sering pergi ke sebuah kapel kecil dan sederhana dan berdiam diri di sana. Di dalam kapel, Sally mulai mempertanyakan apakah Tuhan benar-benar mendengarnya, karena dalam ajaran Katolik yang ia tahu, disebutkan bahwa Tuhan hadir dalam acara-acara sakramen.

"Pikiran saya dipenuhi oleh pertanyaan. Mulai ada keraguan khususnya tentang realita Yesus Kristus. Tapi saya tidak punya keberanian untuk menanyakan pada pendeta atau teman-teman biarawati lainnya. Saya terlalu takut mereka akan menentang pemikiran saya," kata Sally.

"Jadi saya biarkan saja semua keraguan saya menggantung. Saya bahkan membiarkan diri saya mengucapkan sumpah pertama saya sebagai biarawati, dan saya terus memperbaruinya setiap tahun sampai selama 10 tahun ! Hingga sampai pada satu titik saya tidak tahan lagi melakukan kaul kesucian dan kemiskinan, mengakui Yesus Kristus sebagai pilihan dan mengakui Yesus Kristus adalah Tuhan dan anak Tuhan ... Saya berdoa lebih keras lagi, meminta petunjuk pada Tuhan agar menunjukkan jalan yang benar," papar Sally.

Yang memberatkan perasaannya saat itu adalah, orang tuanya akan sangat terluka jika ia meninggalkan biara. Ayah Sally yang sangat keberatan jika putrinya keluar dari biara, bahkan jika alasannya Sally ingin punya keluarga sendiri. Sally tidak ingin menyakiti keluarganya, terutama ibu dan dua saudara lelakinya yang menjadi pendeta, serta empat saudara perempuannya, yang semuanya menjadi biarawati.

"Di atas itu semua, saya juga tidak mau bersikap munafik dan berpura-pura bahagia menjalani sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip saya. Maka, saya tidak menyerahkan surat permohonan profesi dan saya bicara pada atasan saya bahwa saya ingin keluar dari biara," tutur Sally.

Ia akhirnya keluar dari biara tanpa memberitahu keluarganya, dan mencari pekerjaan untuk bertahan hidup. Tak berapa lama kemudian, ia bertemu dengan sahabat dekatnya yang sudah menjadi pendeta. Sally ditawari untuk bekerja dengan sahabatnya itu di sebuah gereja di Marawi sebagai kordinator paroki.

Pada saat yang sama, orang tua Sally tahu bahwa ia sudah meninggalkan biara. Meski berat menerima kenyataan itu, orang tua Sally masih berharap suatu hari Sallu akan kembali ke biara. Sally sendiri menerima tawaran kerja sebagai kordinator paroki. Tapi pendeta yang menjadi atasan Sally, tidak memperlakukannya dengan baik.

"Dia tidak membayar gaji saya dan berusaha melakukan pelecehan seksual pada saya," ungkap Sally.

Beruntung, Sally selalu lolo dari nafsu setan pendeta itu. Ia berdoa lagi, meminta Tuhan untuk selalu melindunginya dan memberinya kebahagiaan, karena Sally merasa tidak pernah merasakan kedamaian dalam hidupnya. Jiwa dan pikirannya selalu diliputi kesedihan.

Hari Baru, Semangat Baru

Suatu pagi, tanggal 17 Juni 2001, Sally mendengar sebuah suara yang indah di telinganya, tapi ia tidak paham itu suara apa. "Saya kira suara itu datang dari masjid di dekat tempat tinggal saya. Begitu saya mendengar suara itu, saya merasa seperti ditenggelamkan dalam air yang sejuk. Saya tidak bisa menjelaskan apa yang saya rasakan," tutur Sally.

"Hari itu, saya merasakan kebahagiaan merasuk ke dalam hati, meski saya tidak paham apa yang saya dengar. Setelah mendengar suara itu, saya berkata pada diri saya sendiri 'ada hari baru, sebuah awal baru'," sambungnya.

Sally lalu bertanya tentang suara yang didengarnya, dan ia tahu bahwa itu adalah suara panggilan salat untuk kaum Muslimin. Tapi Sally merasa aneh, ia datang ke Marawi awal Mei 2001, mengapa selama ini ia tidak pernah mendengar suara itu dan baru mendengarnya pada pagi hari di bulan Juni?

Hari itu juga, Sally memutuskan untuk mencari tahu apa itu Islam dan Muslim. Ia membaca banyak buku. Sally juga akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai kordinator paroki dan pulang ke rumah keluarganya di Pampanga. Sesampainya di rumah, ia baru tahu bahwa ayahnya sudah meninggal dunia, yang membuat Sally selama beberapa saat merasa tertekan.

Namun Sally terus belajar Islam. Ia kembali ke Manila, berharap ada seseorang yang bisa memberikan penjelasan padanya tentang Islam. Di dalam hatinya, Sally merasa bahwa ia siap untuk memeluk Islam, tapi tak tahu bagaimana caranya.

Sally tak menyerah. Ia mencari tahu lewat internet, bergabung dengan forum-forum di dunia maya dengan harapan menemukan seorang muslim yang memberikan pencerahan tentang Islam padanya.

Usaha Sally tak sia-sia. Pada tanggal 16 Juni 2004, Sally bertemu dengan seorang muslim di Manila yang menjawab semua keingintahuan Sally tentang Islam. Hingga suatu hari, Sally akhirnya mengucapkan syahadat, sebagai syarat untuk menjadi seorang muslim.

"Di hari yang menentukan itu, saya seperti menemukan sebuah rumah rumah, rumah itu adalah agama Islam. Rumah dimana saya bisa menemukan cinta, kebahagiaan dan kegembiraan. Sekarang, saya bisa tersenyum. Senyum yang datang dari hati terdalam. Hari itu, saya bisa tidur dengan nyenyak," ungkap Sally tentang perasaannya setelah masuk Islam.

"Tiap kali saya berdoa, saya menangis, bukan airmata kesedihan, tapi airmata kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kebahagiaan yang tak terlukiskan," tambah Sally.

Ia pun teringat, dulu pernah berbincang-bincang dengan kakeknya, seorang pendeta Katolik. Kakeknya mengatakan, "Kalau kamu ingin pindah agama, pindahlah ke Islam !"

"Allahu Akbar ! Semoga Allah membuka hati keluarga saya pada cahaya Islam. Amiin," doa Sally.

Richard, Dibesarkan dalam Tradisi Baptis, Tapi Sangat Tertarik dengan Islam

Richard Beauchamp
kisahmuallaf.com - Richard Beauchamp duduk di area parkir memandng para Muslim keluar Masuk. Ia tak pernah sekalipun memasuki masjid dan ia gugup

Begitu berhasil mengumpulkan keberanian untuk masuk, ia disambut hangat. Lelaki itu mengaku dibesarkan dalam tradisi Baptis, namun ia sangat tertarik Islam.

"Mereka luar biasa baik," ujar Beauchamp, 36 tahun, warga asal Irving. "Mudah sekali untuk kembali datang ke sana," tuturnya.

Pada kunjungan berikut bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jumat. Beuchamp tidak tahu sama sekali cara Muslim beribadah. Ia pun hanya duduk dan melihat. Hampir semua pria berdiri di lantai. "Kursi hanya digunakan untuk orang tua yang tak sanggup berdiri." ungkapnya. "Saat itu saya larut dalam doa sehingga hampir tidak memperhatikan sekitar."

Apa yang membuat ia tertarik kepada Islam. Rupanya saat usia muda, Beuchamp sudah kecewa dengan Kristen. Ia tidak memahami bagaimana Kristiani meyakini satu Tuhan dan Trinitas sekaligus bersamaan.

Perjalanannya menuju Islam adalah pencarian seorang diri, sesuatu yang umum terjadi pada warga Amerika yang beralih ke Muslim. Ia menemukan Islam lewat buku bahkan sebelum bertemu dan menjalin hubungan dengan seorang Muslim.

Dalam kunjungan rutin ke masjid selama satu tahun, ia meyakini telah menemukan rumah spritual di dalam Islam. Namun Beuchamp menyadari menjadi Muslim berarti mengubah total seluruh gaya hidupnya.

"Saya saat itu memiliki gaya hidup seperti warga Amerika lain berusia 20-an," tuturnya. "Saya keluar ke club malam, minum dan bergaul bebas dengan para wanita. Sebagai muslim kini saya tak bisa lagi bebas bergaul dan bepergian seenaknya dengan teman wanita. Yang pasti saya tak bisa minum lagi."

Saat beralih, ia mendapati respon temannya ternyata jauh lebih keras ketimbang tanggapan kedua orangtuanya. "Gaya hidup saya berubah banyak dan sulit bagi teman saya untuk menerima," ujarnya. "Namun ketika saya membaca tulisan teman-teman Muslim lain, justru kian sulit untuk menengok kebelakang," tuturnya.

Tak dipungkiri oleh Beuchamp, saat tumbuh besar ia memiliki pandangan kelam tentang Muslim. Itu pun sedikit menghambat peralihannya. Cerita-cerita mengenai revolusi Iran, kekerasan dan penangkapan warga Amerika sebagai sandera yang kadang dibunuh di Timur-Tengah membuat ia curiga.

"Benar-benar perjuangan untuk mengatasi prasangka yang telah saya miliki" ungkapnya. Namun pengalaman pertama berkunjung ke masjid langsung mendobrak semua pandangan negatif tadi. "Say menyaksikan orang-orang yang begitu beriman, tulus dan penuh kasih sayang." tuturnya.

Pada 2006, Beucham pergi ke Indonesia untuk menikahi seorang wanita. Ia mengenalnya lewat sebuah situs kontak jodoh di Internet. "Ia wanita yang baik dan taat," ujarnya.

Ia berkorespondensi lewat internet dengan wanita itu selama enam bulan lalu terbang ke Indonesia untuk bertemu dengannya dan keluarganya. Ia berada di Indonesia ketika serangan 11 September terhadap menara kembar WTC dan pentagon terjadi.

"Banyak warga Amerika seketika itu memiliki pandangan distorsi terhadap Islam." ujarnya. "Itu sungguh melukai hati saya karena Islam telah membawa rasa damai dan tujuan hidup yang sebelumnya tak pernah saya miliki,"

Abdal Malik Rezeski, Terkesan Kesalehan dan Sikap Rendah Hati Muslim

kisahmuallaf.com - Ia adalah warga New York kelas menengah sekaligus perwira dalam Angkatan Darat Amerika Serikat (AS). Pada 1991 ia dengan senang hati bergabung melayani negara dalam tugas di Perang Teluk I.

Tahun berikut ia dikirim ke Pakistan, dimana ia bertemu orang saleh dan terkesan dengan mereka. "Mereka baik, orang-orang rendah hati yang mencoba menjalankan ibadah dengan taat," tuturnya.

Ia mulai belajar Islam pertama karena didorong oleh rasa ingin tahu, lalu keluar dari keyakinan. Tepat di akhir tahun, ia menjadi seorang Muslim.

"Ayah saya seorang Yahudi, ibu saya Kristiani," tutur Abdal Malik Rezeski yang tinggal di Dallas. "Islam adalah agama pertama yang masuk akal bagi saya."

Islam adalah salah satu agama yang tumbuh cepat di Amerika. Salah satu penyebab adalah pertambahan imigran dan angka kelahiran yang tinggi di kalangan mereka. Namun seiring waktu, justru lebih banyak warga asli Amerika yang beralih ke Islam.

Mereka tertarik dengan aturan moral ketat yang diusung Islam, sistem keyakinan yang sebenarnya serupa dengan Yudaisme dan Nasrani. Kemiripan itu, menurut ulama, memudahkan langkah-langkah untuk mempraktekan dan beralih ke Islam.

"Pesan langsung mengenai Tuhan, jauh lebih mudah dipahami ketimbang konsep Trinitas, ujar Jane Smith, seorang pakar studi Islam di Hartford Seminary.

Mayoritas warga Amerika yan beralih, 64 persen adalah Afrika-Amerika, demikian menurut The Mosque Report, sebuah kajian nasional yang dilakukan empat organisasi Muslim. Salah satunya adalah Share Muhammed, 48, yang sejak kecil rajin mendatangi gereja kulit hitam.

"Yang langsung menarik perhatian saya dari Islam adalah saya tidak melihat rasisme," ujarnya. Di masjid, wanita itu mengaku bertemu dengan banyak imigran dari penjuru dunia dan kemajemukan Amerika.

Sekitar 6 juta Muslim tinggal Amerika Serikat. The Mosque Report memperkirakan sekitar 30 persen jamaah adalah mualaf.

Namun tak seorang pun tak pasti berapa mualaf di sana karena Muslim tidak mencatat informasi itu. Mereka mengatakan hal itu juga cukup sulit karena orang kerap beralih memeluk Islam tanpa keterlibatan masjid.

"Bagi Muslim, itu adalah antara diri anda dan Tuhan," ujar seorang pakar sosiologi agama, Dr. Behrooz Ghamari-Tabrizi, di Georgia State University. "Sementara dalam Yahudi dan Kristen, anda harus mengikuti ritual formal."

Seperti yang dialami Rezeksi, di hari ia memutuskan memeluk Islam, ia mencari teman-teman Pakistannya. Dengan keberadaan mereka ia mengucapkan dua kalimat syahadt. "Tiada Tuhan selain Allah (swt) dan Muhammad adalah rasul-Nya."

Begitu mengkaji Al Qur'an, kitab suci Muslim, ia mengaku kian tertarik lebih dalam dengan agama tersebut.

"Dengan Islam saya bisa melihat ramuan bagaimana agar berhasil menjalani kehidupan saat ini dan kehidupan masa nanti." ujarnya. "Tidak hanya panduan praktikal mengenai perceraian dan bagaimana memperlakukan anak yatim, tetapi juga petunjuk spiritual yang memaparkan apa Tuhan itu dan bagaimana kita seharusnya berhubungan dengan-Nya."

Tina Stylianidou, Pernah Mengolok Rasulullah dengan Karikatur...Namun Berislam Setelah Baca Shirah Nabi

kisahmuallaf.com - Dulu, Keluarga Tina Stylianidou terkenal sebagai keluarga terpandang keturunan Yunani di Turki. Ketika pemerintah Turki memutuskan untuk menendang mayoritas warga negara Yunani keluar dari Turki dan menyita kekayaan mereka, keluarganya kembali ke Yunani dengan tangan kosong. Inilah yang melandasi keluarganya sangat antipati pada Islam.

Dari sisi keluarga ibunya, mereka tinggal di sebuah pulau di Yunani yang persis berbatasan dengan Turki. Selama perang,  Turki menduduki pulau dan membakar rumah-rumah mereka. Jadi mereka melarikan diri ke daratan Yunani untuk bertahan hidup. "Tak hanya benci Turki, mereka juga benci Islam," katanya.

Yunani - yang diduduki oleh Turki selama lebih 400 tahun - mengajarkan padanya untuk percaya bahwa untuk setiap kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang Yunani, Islam yang  bertanggung jawab. Bahwa Turki adalah Muslim dan kejahatan mereka mencerminkan keyakinan agama mereka. "Jadi selama ratusan tahun kami diajarkan dalam sejarah kami dan buku-buku agama untuk membenci dan mengolok-olok Islam," tambahnya.

Di sekolah, ia mendapat pelajaran bahwa  Islam sebenarnya bukan agama dan Muhammad  adalah bukan seorang nabi. "Dia hanya seorang pemimpin yang sangat cerdas dan politisi yang mengumpulkan sejumlah aturan dan hukum dari orang-orang Yahudi dan Kristen, menambahkan beberapa ide sendiri dan menaklukkan dunia."

Salah satu tugas dari sekolah, adalah membuat olok-olok tentang dia dan istrinya atau sahabatnya. Ia pun mengerjakan tugas itu dan menerjemahkannya menjadi sebuah karikatur yang diacungi jempol oleh guru-gurunya.  "Semua karikatur dan fitnah terhadap dirinya yang diterbitkan di media hari ini sebenarnya merupakan bagian dari kurikulum kami," katanya.

Tetapi, aku Tina, Allah melindunginya sehingga kebencian terhadap Islam, tidak masuk hatinya. Sebagai seorang remaja, dia suka  membaca dan  tidak benar-benar puas atau yakin dengan kekristenannya. "Saya memiliki kepercayaan pada Tuhan, rasa takut dan mencintai Dia, tetapi untuk hal-hal yang lain bingung. Saya mulai mencari-cari tapi saya tidak pernah mencari terhadap Islam, mungkin karena latar belakang saya menentangnya). Tapi pada akhirnya, Allah mengasihani jiwa saya dan menuntun saya dari kegelapan menuju cahaya kebenaran - Islam - tunduk hanya kepada Satu Allah."

Di tengah kebimbangan, ia dipertemukan dengan seorang pemuda yang telah lebih dulu memutuskan menjadi Muslim. Dari dialah, ia belajar Islam lebih dalam. termasuk, membaca secara lengkap Shirah nabawiyah, sejarah rasulullah Muhammad SAW. Belakangan, ia menerima pinangan pemuda itu dan bersyahadat.

"Menjadi seorang Muslim, saya  merahasiakannya dari keluarga dan teman-teman selama bertahun-tahun. Kami tinggal bersama suami saya di Yunani berusaha mempraktikkan Islam tapi itu sangat sulit - hampir mustahil," katanya.

Di kotanya, tidak ada masjid, tidak ada akses ke studi Islam, tidak ada orang berdoa, berpuasa, atau perempuan memakai jilbab (penutup kepala Islam). Yang ada hanya beberapa imigran Muslim yang datang ke Yunani hanya demi alasan ekonomi, dan tidak begitu peduli dengan kehidupan spiritualnya. "Bahkan, mereka lebih Barat ketimbang kami yang orang Barat," katanya.

Dia dan suaminya, harus shalat buru-buru, agar tak diketahui orang. Mereka menandai kalender dengan tanda-tanda tertentu, agar sesuai dengan kalender Hijriyah; terutama Ramadhan dan Dzulhijah.

"Ketika putri saya lahir, kami memutuskan untuk bermigrasi ke sebuah negara Muslim. Kami tidak ingin membesarkannya di lingkungan di mana dia akan berjuang untuk mempertahankan identitas Muslimnya, atau bahkan lebur bersama mereka," katanya.

Sekarang, empat tahun sudah mereka tinggal di Turki. "Saya kerap merasa sangat rindu rumah, dan bertanya-tanya apakah sudah waktunya untuk kembali ke Yunani, negara yang indah dimana saya dilahirkan dan mencoba menemukan cara untuk menggabungkan identitas indah dan budaya nenek moyang Yunani  serta identitas Islam saya. Tapi saya merasa bangga dan bersyukur kepada Allah bahwa saya dapat menjadi warga Yunani dan Muslim yang baik," katanya.

Taras Cherniyenko, Mereka Ingin Tahu Mengapa Saya Masuk Islam

kisahmualaf.com - Taras Cherniyenko seperti tipikal banker muda Rusia, berpakaian rapi, berdasi, rambut pendek dan berjanggut tipis. Sambil duduk-duduk di sebuah cafe di Ulitsa Sretenka, ia menceritakan perjalanan spiritualnya, dimulai ketika masih remaja sampai akhirnya memeluk agama Islam dan menggunakan nama islami Abdul Karim.

Sekarang, Cheniyenko menjabat sebagai wakil ketua organisasi tempat berkumpulnya etnis Rusia yang masuk Islam, National Organization of Rusian Muslim. Ia dan rekan-rekannya di organisasi itu, ingin menyebarkan nilai-nilai yang diajarkan Islam--misalnya larangan mengonsumsi alkohol--pada masyarakat Rusia sebagai solusi untuk mengatasi berbagai problem yang dihadapi negeri itu.

"Orang bisa bilang bahwa minum vodka atau anggur adalah salah satu aspek penting dalam budaya Rusia. Tapi, saya bisa menjadi orang Rusia yang baik tanpa harus minum minuman beralkohol. Sebagian besar problem sosial di Rusia disebabkan oleh konsumsi alkohol," kata Cherniyenko.
"Jika kita bisa mengenalkan nilai-nilai sosial yang islami pada Rusia, masyarakat dan negara ini akan lebih kuat," sambungnya.

Cherniyenko mengungkapkan, kebanyakan orang Rusia ingin tahu ketika ia mengatakan bahwa dirinya seorang muslim. "Banyak diantara mereka bertanya, mengapa saya pindah agama. Pertanyaan itu bukan karena mereka kasar, tapi karena mereka ingin tahu," ujarnya.

Banker muda itu lalu bercerita bahwa ia tumbuh dalam lingkungan yang liberal di Petersburg. "Ibu saya mendorong saya dalam hal pendidikan, termasuk mempelajari berbagai budaya dan agama. Saya pernah belajar kitab Taurat dalam bahasa Ibrani, belajar Gospel dalam bahasa Yunani dan sedikit belajar teks-teks agama Hindu," tutur Cherniyenko.

Karena belajar banyak agama itulah yang menuntun Cherniyenko melakukan pencarian terhadap keyakinan yang sesuai dengan interpretasinya. "Saya mencari sebuah keyakinan yang tidak menolak Yesus atau menyembahnya sebagai tuhan, sebuah keyakinan yang mengakui yesus adalah seorang manusia, yang suci dan tanpa dosa, tapi ia tetap manusia. Itulah yang menuntun saya pada agama Islam," papar Cherniyenko.

Menurutnya, National Organization of Rusian Muslim saat ini memiliki anggota sekira 2.000 orang dari 20 wilayah di seluruh Rusia. Jumlah Muslim di Rusia sekarang kira-kira 19 juta jiwa, yang menjadikan agama Islam sebagai agama kedua terbesar di Rusia setelah Kristen Ortodok.

Cherniyenko mengungkapkan, spiritualitas yang mengikat erat antar anggota organisasi National Organization of Rusian Muslim. "Setiap hari saya berdoa untuk ibu saya, keluarga, dan untuk perdamaian serta kesejahteraan komunitas Muslim," tukasnya.

Mali, Tuhan...Tunjukkan Aku Kebenaran!!

kisahmuallaf.com - Nozibele Phylis Mali, perempuan kelahiran Transkei--bekas wilayah apartheid di Afrika Selatan--datang ke Cape Town pada tahun 1991 untuk mencari pekerjaan. Allah menganugerahkannya cahaya Islam ketika ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Mehrunisa Dawood, sebuah keluarga muslim.

Saat itu tahun 1995, Mali seperti biasanya melakukan tugas rutinnya di rumah keluarga Dawood. Saat sibuk menyapu lantai, ia mendengar suara anak lelaki keluarga itu yang bernama Shafeeq sedang melantunkan hapalan Al-Qurannya. Seketika Mali terpesona mendengarnya. Ia tidak paham artinya, tapi lantuanan ayat Al-Quran itu membuatnya merasa aneh dan ingin tahu. Diam-diam ia memperhatikan Shafeeq yang sedang duduk khidmat membaca kitab suci Al-Quran di hadapannya.

"Mengapa anak ini duduk seperti itu?" tanya Mali dalam hati. Bagi Mali pemandangan yang ia lihat sungguh indah. Keindahan yang memicu rasa ingin tahunya. Ia bertanya-tanya lagi dalam hati, "Apa yang sedang dilakukan Shafeeq? Mengapa aku begitu terpesona dengan suara yang mengalun begitu merdu?"

Sejak itu, jiwa dan pikiran Mali selalu teringat dengan apa yang ia lihat dan ia dengar hari itu. Mali kagum melihat seorang anak yang dengan khidmat membaca Al-Quran. Ia tidak tahu apa itu Quran. Ia juga tidak tahu soal agama Islam. Tapi ketika ia melihat seorang anak membaca Quran, dan mendengar ayat-ayat suci yang dilantunkannya, Mali mengakui ada sebuah kekuatan yang besar yang meyakinkannya pada sebuah kebenaran.

"Bacaan yang dilantukannya itu datang dari dalam hati," ujar Mali yang mulai tersentuh dengan bacaan Al-Quran.

Tapi sebenarnya, bukan cuma bacaan Al-Quran Shafeeq yang membuat hati Mali tersentuh. Ia juga mengagumi Mehrunisa Dawood sebagai seorang perempuan yang murah senyum. "Perempuan ini, setiap pagi saat saya datang, wajahnya selalu dihiasi senyum," kata Mali, bahkan ketika ia melakukan kesalahan saat bekerja, majikan perempuannya itu tetap bersikap baik, sehingga Mali tak khawatir kemungkinan akan mendapat hukuman karena melakukan kesalahan saat bekerja.

Mali menceritakan, sikap dan perlakuan Mehrunisa Dawood sangat berbeda dengan sikap majikannya terdahulu, meski sama-sama Muslim. Di keluraga Mehrunisa, Mali tidak merasa diperlakukan semata-mata hanya sebagai pembantu atau antara majikan dengan pekerjanya. Tapi ia merasakan hubungan yang lebih hangat dan kekeluargaan. Ini yang membuat Mali merasa bahagia bahkan terharu.

Suatu siang, Mali memperhatikan Mehrunisa yang sedang berwudu lalu salat dengan mengenakan baju panjang dan jilbab. Saat itu, Mali belum tahu soal wudu dan keheranan melihat apa yang dilakukan majikan perempuannya. Mali ingin bertanya tapi agak takut. Semakin lama ia memperhatikan kebiasaan keluarga Mehrunisa, pertanyaan dalam kepalanya makin menggunung.

Mehrunisa ternyata merasakan keingintahuan Mali. Ia tahu, Mali yang lahir dari keluarga Gereja Metodis, sedang membutuhkan bimbingan spiritual. Mehrunisa lalu mengajak Mali diskusi soal agama, gereja dan keyakinan agama Mali. Pembicaraan itu tidak membuat Mali puas. Mehrunisa menasehati Mali untuk berdoa.

"Saat kamu keluar dari pintu ini, katakanlah pada Tuhan 'Oh, Tuhan, tolonglah aku, tunjukan aku kebenaran'. Bacalah doa itu saat kamu berjalan sampai tiba di rumahmu, dan Tuhan akan menunjukkan jalan bagimu, " ujar Mali menirukan perkataan Mehrunisaa ketika itu.

Beberapa bulan kemudian, Mehrunisa mengajak Mali ke kantor Gerakan Dakwah Islam. Seorang imam di kantor tersebut menjelaskan tentang Islam pada Mali yang tanpa menunda-nunda waktu lagi memutuskan untuk memeluk Islam. Saat itu tahun 2005, momen saat Mali mengucapkan dua kalimat syahadat menjadi momen yang mengharukan. Setelah resmi masuk Islam, Mali menggunakan nama Islami Fatima.

Setelah masuk Islam, Fatima Mali merasakan perubahan yang lebih dalam kehidupannya. Ia yang biasanya hanya memikirkan kebutuhannya sendiri, menjadi lebih peka pada orang lain yang membutuhkan. Tapi, ia juga harus menerima kenyataan pahit tidak semua orang senang dengan pilihannya menjadi seorang muslim.

Selama bekerja di Cape Town, Fatima hidup menumpang di rumah saudara lelakinya bernama Douglas. Saudara lelakinya itu tidak pernah mempermasalahkan perpindahan agama Fatimah dan tetap bersedia menampung Fatima di rumahnya. Yang menjadi batu sandungan adalah istri Douglas, yang tidak menentang keislaman Fatima dan secara terbuka menunjukkan kebenciannya pada Fatima.

Meski hidupnya makin berat karena sikap iparnya itu, Fatima berusaha sabar dan bertahan. Tapi lama kelamaan, Fatima tak kuat menghadapi sikap iparnya dan memilih meninggalkan rumah. Ia kemudian menumpang di rumah seorang teman perempuannya yang muslim, bernama Nadia.

Di lingkungannya yang baru, Fatima bersama Nadia membantu seorang tetangga dan dua anaknya yang terlantar karena ibunya seorang pemabuk. Ayah dua anak itu sangat terkesan dengan sikap Fatima dan Nadia dan membuatnya memutuskan masuk Islam, dengan mengajak dua anaknya. Fatima merasa bahagia. Ia merasa itulah pertama kalinya ia melakukan hal baik sejak ia masuk Islam.

Iman Kouvalis, Pernah Bertanya Kepada Pendeta tentang Islam

kisahmuallaf.com - Perkenalan Iman Sotiria Kouvalis dengan Islam dimulai dengan cara yang aneh. Suatu hari melihat perempuan Muslim di kampus dan merasa kasihan pada mereka. "Aku tidak mengenal mereka tapi ketika kami menyeberangi jalan di kafetaria, aku tersenyum pada mereka karena aku pikir mereka tertindas. Aku tidak pernah berbicara dengan mereka tapi aku hanya berasumsi bahwa mereka dipaksa memakai jilbab," katanya.

Saat itu, wanita yang tumbuh dan besar di Ontario, Kanada ini mengaku benar-benar berpikir bahwa semua orang di dunia adalah orang Kristen. Kejadian ini terjadi sekitar 10 tahun yang lalu, sebelum peristiwa 11 september terjadi.

Pada saat yang sama, Iman, begitu ia minta dipanggil sekarang, tengah mengalami kekosongan batin. Meskipun dibesarkan dalam keluarga Ortodoks Yunani dan menghadiri gereja setiap Minggu hampir tak pernah bolong, "Gereja tidak lagi memiliki arti dalam hidupku dan ada banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Gereja," katanya.

Suatu dikotomi mulai muncul, di mana kehidupan dan agama itu hanyut ke sisi berlawanan. "Aku tidak bisa melihat bagaimana membuat agama relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dan itulah bagaimana aku mulai menjauh dari Gereja," katanya.

Di kampus, ia mulai berinteraksi dengan mahasiswa Muslim. "Mereka menghidupkan kembali rohaniku untuk menjadi dekat dengan Tuhan lagi," katanya. Ia mengaku sedikit cemburu; bagaimana mereka begitu setia dan damai dan aku tidak, meskipun aku akan ke surga dan mereka tidak?

Ia mulai masuk ke perdebatan agama dengan mereka. Salah satu misinya, mengenalkan Yesus. Ketika mereka menyatakan percaya pada Yesus, ia terkejut. "Mereka menghormati Yesus bukan sebagai Tuhan, tapi utusan Tuhan dan salah satu nabi mereka," katanya.

Diam-diam, ketika tidak ada yang melihat, ia menyelinap ke perpustakaan untuk membaca tentang Islam untuk meyakinkan mereka bahwa mereka salah. "Aku hanya menemukan beberapa buku benar-benar aneh dan tua. Saat itu adalah zaman pra-Google  sehingga tidak ada sumber informasi lain yang bisa dikorek," katanya.

Suatu hari, saat berjalan menyusuri salah satu aula universitas ia melihat beberapa pamflet di dinding tentang Islam. Sampai di rumah ia mulai membaca dan takjub. Satu pamflet bahkan berbicara tentang isyarat Muhammad dalam Alkitab. "Alkitab? Aku pikir ini  bohong! Tapi aku memeriksa ayat dalam Alkitab, ternyata benar," katanya.

Ia makin bimbang. "Sampai di satu titik aku berdoa pada Tuhan untuk menunjukkan mana agama yang benar," katanya.

Ia mendatangi gereja  lagi, dan lebih sering ke sana, dua kali seminggu. "Aku mulai membaca Alkitab lagi, tapi kali ini dalam rangka untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku," katanya.

Setelah berbulan-bulan ini, ia mengaku tidak tahan lagi dan memutuskan untuk pergi menemui pendeta. "Pertanyaanku tiga: Jika Yesus mati untuk dosa-dosa kita dan kita hanya perlu percaya ini untuk diselamatkan dan masuk surga, lalu bagaimana itu masuk akal? Itu berarti aku dapat melakukan dosa dan diselamatkan? Bagaimana bisa Tuhan 3 in 1? Apa pendapat Anda tentang Islam?"

"Untuk dua pertanyaan pertama, ia mencoba yang terbaik untuk menjelaskan, tapi sudah jelas bagiku bahwa ada banyak ambiguitas dalam jawabannya. Ketika kami sampai ke pertanyaan ketiga, matanya melotot keluar dan wajahnya memerah! Ia memintaku untuk menjauh dari orang-orang yang mempengaruhiku hingga bertanya demikian."

Ia meninggalkan pertemuan dengan kecewa. "Untuk pertama kalinya, hal ini menyebabkan celah pasti dalam imanku. Aku justru makin menemukan jawaban," katanya.

Setelah berbulan-bulan lebih intens membaca, studi kritis terhadap kedua agama dan berdoa pada Tuhan untuk ditunjukkan agamanya, hatinya makin condong pada Islam. Namun, ia masih ragu dan takut akan perubahan sikap orang-orang terdekatnya, terutama keluarganya. Ia takut menyakiti hati mereka.

Namun, ia dikuatkan setelah bertemu ayat 113-115 dalam surat Ali Imran. "Aku mengerti bahwa sebagai Muslim kita harus menghormati orang dari agama lain untuk beberapa dari mereka benar-benar tulus dan mereka percaya Allah. Pada akhirnya, bukan mereka atau aku yang akan menghakimi orang, hanya Tuhan yang bisa melakukan itu," katanya.

Iapun memutuskan bersyahadat. "Aku datang pada Islam melalui buku. Melalui studi kritis dan intens seperti mualaf lain.  Jika Anda berada dalam situasi ini, Anda berutang kepada diri sendiri untuk menemukan jawaban sekarang karena kita tidak tahu kapan kita akan mati. Dan untuk mengetahui bahwa Tuhan memberikan kita pikiran untuk berpikir kritis. It's OK untuk mengajukan pertanyaan dan it's OK untuk menemukan jawaban."

Yahya Schroeder, Menemukan Hidayah Saat Sekarat

kisahmuallaf.com - Aku tak peduli lagi dengan cederaku. Aku bahagia karena Allah masih mengizinkanku untuk terus hidup.

Bila Allah SWT berkehendak dan memberikan hidayah pada seseorang maka tak ada yang sanggup menghalanginya. Dan, rencana Allah pasti akan terlaksana. Allah berfirman, ''Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.'' (Al-Insyirah [94]:6).

Ayat ini sangat tepat disematkan pada Yahya Schroeder, pemuda asal Jerman. Kecelakaan yang menimpanya saat akan berenang, membuatnya mendapatkan hidayah dari Allah SWT.

''Suatu hari, ketika aku ikut dengan kawan-kawan pergi berenang. Saat akan melompat ke kolam, aku terpeleset dan jatuh tidak sempurna. Akibatnya, kepalaku terbentur pinggir kolam dan punggungku retak parah. Ayahku segera membawaku ke rumah sakit,'' terang Yahya Shcroeder, sebagaimana dikutip islamreading.com.

Selama di rumah sakit, dokter menyarankannya untuk tidak banyak bergerak. Sebab, cedera punggungnya cukup parah dan engkel tangan kanan bergeser. ''Nak, jangan banyak bergerak, ya. Sedikit saja salah bergerak, bisa menyebabkan cacat,'' kata dokter. Kalimat ini membuatnya makin tertekan.

Ia kemudian dibawa ke ruang operasi. Melihat kondisinya yang kritis, salah seorang temannya, Ahmir, berkata padanya, ''Yahya, hidupmu kini ada di tangan Allah. Ini mirip seperti perjudian, antara hidup dan mati. Kini, kamu berada di puncak kenikmatan dari sebuah pencarian. Bertahanlah, sabarlah sahabat. Allah pasti akan menolongmu.'' Kalimat Ahmir memotivasi Yahya untuk bangkit lagi dengan semangat hidup yang baru.

Operasi punggung dan luka-luka lainnya berjalan selama lima jam lebih. Yahya baru siuman hingga tiga hari kemudian. Saat terjaga, ia kesulitan menggerakkan tangannya. ''Entah mengapa, saat itu aku merasa seperti orang yang sangat bahagia di muka bumi, kendati sedang dibalut luka. Aku tak peduli lagi dengan cederaku. Aku bahagia karena Allah masih mengizinkanku untuk terus hidup.''

Bahkan, ketika dokter memintanya untuk istirahat dulu di rumah sakit selama beberapa bulan, ia menolaknya. Semangat hidupnya mampu mengalahkan rasa sakit yang dideritanya. Tak lebih dari dua minggu, Yahya sudah boleh pulang, lantaran kerja keras yang penuh disiplin dan latihan rutin yang ia lakukan.

Ketika dokter datang dan mengajaknya untuk latihan naik tangga, ternyata sang dokter dibuat kaget ketika ia mampu melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

''Kecelakaan itu telah mengubah jalan hidupku. Aku jadi suka merenung. Jika Allah menginginkan sesuatu, kehidupan seorang bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Aku pun mulai serius berpikir tentang hidup ini dan Islam tentunya. Keinginan untuk memeluk Islam makin menjadi-jadi.
Dan, bila itu aku lakukan, risikonya aku harus meninggalkan rumah dan keluarga yang aku cintai, serta semua kemewahan hidup yang selama ini aku jalani. Namun, tekadku sudah bulat. Aku segera pindah ke Postdam dan tinggal bersama ayahku,'' terangnya.

Kedua orang tuanya telah berpisah, dan Yahya ketika itu ikut dengan ibu dan ayah tirinya. Namun, sejak peristiwa itu, ia memutuskan untuk tinggal bersama ayahnya.

Kala pindah ke Potsdam, Yahya cuma membawa beberapa lembar pakaian, buku sekolah, dan beberapa CD kesayangannya. Ia tinggal sementara di apartemen ayahnya. ''Tempatnya sangat kecil hingga terpaksa aku harus tidur di dapur. Tapi, aku bahagia, persis seperti saat siuman dari rumah sakit akibat kecelakaan itu,'' paparnya.

Padahal sebelumnya, saat masih bersama ibunya, Yahya hidup mewah dan enak. Pakaian bagus, rumah luas, mobil, makan enak, dan berbagai kesenangan duniawi lainnya. Ia juga suka pesta minum alkohol bersama teman-temannya hingga mabuk.

''Entahlah, dengan semua itu, aku merasa hidup tidak tenang, selalu gelisah. Kala itu pun aku berpikir untuk mencari 'sesuatu' yang lain,'' ujarnya.

Memeluk Islam
Dan, melalui ayah kandungnya yang sudah menjadi Muslim pada tahun 2001, Yahya menunjukkan ketertarikannya untuk mempelajari Islam. Ia pun suka bergaul dengan komunitas Muslim Postdam. Ayahnya secara diam-diam memperhatikan tingkah laku Yahya. Ia menginginkan, anaknya ini mempelajari Islam secara sungguh-sungguh dan bukan ikut-ikutan. Setelah dirasa cukup mantap, Yahya akhirnya memeluk agama Islam, saat usianya menginjak 17 tahun, tepatnya pada November 2006 silam.

Begitu teman-teman sekolahnya tahu, ia memeluk Islam, sumpah serapah, caci maki, dan penghinaan ia terima dari teman-temannya yang dahulu bersamanya. Namun demikian, Yahya tak khawatir. Ia merasa sudah mantap dengan agama yang dibawa oleh Nabi Muhamamd Saw ini.

''Saat teman-temanku tahu aku telah memeluk Islam, mereka menganggap aku gila, bodoh, dan main-main. Mereka menganggap, Islam itu agama teroris, Arabisasi, suka berbuat kekerasan, mendiskriminasikan perempuan, dan lain sebagainya. Namun, aku tak membalasnya. Saya tahu, mereka melakukan itu karena mereka tidak mengenal Islam dengan baik. Mereka hanya tahu dari media massa yang turut serta menyudutkan Islam,'' terangnya.

Setelah 10 bulan berjalan sejak keislamannya, teman-temannya akhirnya berubah sikap. Mereka yang tadinya usil, mulai menunjukkan simpati bahkan bertanya tentang Islam padanya. ''Aku pun melakukan dakwah di kelas pada teman-temanku tentang Islam. Mereka akhirnya menyadari, Islam punya aturan dan moral yang sangat baik dan teratur. Tidak berjudi, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya,'' ungkapnya.

Sikap simpati juga ditunjukkan pihak sekolah. Yahya diberikan sebuah ruangan khusus untuk melaksanakan shalat. ''Padahal, siswa Muslim cuma aku satu-satunya,'' kata dia.

Sikapnya yang lebih santun, sopan, dan hormat, membuat teman-temannya makin suka bergaul dengan Yahya. Ia memosisikan dirinya sebagai seorang sahabat yang baik dan tidak memihak kelompok manapun di sekolahnya.

Sikapnya ini membuat ia bisa bergaul dan diterima di semua kelompok.
''Kalau di antara mereka punya acara, mereka akan mengundangku. Mereka juga menyediakan makanan halal yang diperuntukkan bagiku. Mereka benar-benar terbuka dengan Islam.''

Kini, setelah memeluk Islam, kesibukan Yahya Schroeder makin bertambah. Ia menjadi produser film, YaYa Productions di Postdam. Produksinya terutama film-film dokumenter yang mengisahkan perjalanan hidup seorang mualaf, dan kebanyakan dalam bahasa Jerman dengan terjemahan bahasa Inggris.

''Tujuanku membuat film adalah untuk menunjukkan kepada kalangan non-Muslim bagaimana Islam yang sebenarnya. Jauh dari apa yang ditampilkan media selama ini. Mudah-mudahan film-film itu bisa mencerahkan pandangan mereka,'' ujar Yahya.